Budaya Senioritas Bisa Menjadi Sebab Kekerasan
Budaya Senioritas Bisa Menjadi Sebab Kekerasan

Budaya Senioritas Bisa Menjadi Sebab Kekerasan

Budaya Senioritas Bisa Menjadi Sebab Kekerasan

Facebook Twitter WhatsApp Pinterest LinkedIn Tumblr Telegram Email Print
Budaya Senioritas Bisa Menjadi Sebab Kekerasan
Budaya Senioritas Bisa Menjadi Sebab Kekerasan

Budaya Senioritas Jika Di Amati Sejauh Ini Dapat Menjadi Pemicu Kekerasan Ketika Di Salahartikan Atau Di Salahgunakan. Apalagi hal ini seringkali kita lihat di terapkan dalam berbagai institusi dan organisasi. Dalam lingkungan yang menjunjung tinggi senioritas, para senior memiliki kekuasaan yang lebih. Bahkan seringkali di pandang sebagai sosok yang harus di hormati tanpa mempertimbangkan tindakan mereka. Sehingga dalam banyak kasus, ketidakseimbangan kekuasaan ini memungkinkan senior untuk berperilaku semena-mena terhadap junior. Apalagi karena junior berada di posisi yang lebih rendah dan merasa tertekan untuk mematuhi aturan tidak tertulis. Makanya mereka cenderung menerima perlakuan kasar tersebut sebagai hal yang “normal”.

Kemudian Budaya Senioritas juga sering menumbuhkan rasa takut pada junior. Terutama yang menganggap kekerasan atau perlakuan kasar sebagai bentuk “pendidikan” atau “proses pendewasaan”. Dalam institusi seperti sekolah, kampus atau tempat kerja, kekerasan oleh senior kerap di anggap sebagai ritual yang harus di jalani. Nah karena di anggap sebagai bagian dari tradisi maka korban kekerasan lebih memilih untuk diam dan menerima perlakuan tersebut. Tentunyaa ini karena mereka khawatir di anggap lemah atau tidak hormat kepada senior. Rasa takut dan ketidakberanian inilah yang membuat praktik kekerasan terus berulang dan bahkan meningkat sampai menciptakan lingkungan yang tidak sehat.

Jadi untuk menghentikan kekerasan yang di sebabkan maka institusi harus menerapkan sistem yang mendukung kesetaraan. Tentunya juga harus menghormati hak setiap individu tanpa memandang status senioritasnya. Begitu juga pendidikan tentang penghargaan, kerjasama dan komunikasi yang sehat karena membantu menghilangkan persepsi bahwa kekerasan adalah hal yang wajar. Selain itu institusi juga perlu memiliki mekanisme pelaporan dan perlindungan bagi korban kekerasan sehingga mereka merasa aman untuk melapor. Dengan cara ini maka di harapkan budaya senioritas dapat bergeser ke arah yang lebih positif. Tentunya di masa penghormatan dan pembelajaran antar-anggota terjadi dengan cara yang sehat dan tanpa kekerasan.

Awal Mula Budaya Senioritas

Awal Mula Budaya Senioritas ternyata dari sistem hierarki tradisional yang berlaku di berbagai masyarakat dan institusi sejak zaman dahulu. Dalam masyarakat yang berbasis agraris dan feodal kedudukan seseorang seringkali di ukur berdasarkan usianya. Atau juga berdasarkan lamanya mengabdi di suatu tempat seperti pada kerajaan atau lembaga pemerintahan. Individu yang lebih tua atau yang lebih lama berada di posisi tertentu akan memiliki status lebih tinggi dan otoritas dalam mengambil keputusan. Dan sistem ini di anggap efektif untuk menjaga keharmonisan serta ketertiban karena masyarakat menghormati mereka yang lebih berpengalaman.

Lalu seiring waktu budaya senioritas berkembang dan menjadi bagian integral dalam pendidikan dan organisasi modern. Terutama di Asia yang notabenenya masih menjunjung tinggi nilai tradisional tentang penghormatan kepada yang lebih tua. Di banyak sekolah dan universitas, senioritas di jadikan landasan hubungan antara siswa baru dan siswa lama, dengan anggapan bahwa para senior berperan dalam membimbing junior. Namun, dalam penerapannya, konsep bimbingan ini terkadang bergeser menjadi bentuk dominasi. Di mana senior merasa dapat memiliki hak lebih untuk memberikan arahan bahkan tekanan kepada junior. Bahkan dalam banyak kasus, senioritas tidak lagi sebatas penghormatan melainkan tuntutan kepatuhan yang berlebihan.

Nah pada akhirnya budaya senioritas terus berlanjut karena di anggap sebagai “bagian dari tradisi” yang perlu di hormati. Banyak orang yang pernah berada di posisi junior meneruskan praktik ini ketika menjadi senior sehingga menciptakan siklus yang sulit di putus. Budaya senioritas pun mengakar dalam berbagai sistem sosial dan di anggap normal meskipun dampaknya bisa negatif. Maka itu upaya untuk mengubah budaya ini sangat memerlukan pendekatan edukatif. Bahkan juga penyadaran bahwa senioritas tidak boleh menjadi alasan untuk menyalahgunakan kekuasaan.

Kasus Senioritas Di Indonesia

Untuk Kasus Senioritas Di Indonesia sendiri seringkali muncul di berbagai institusi. Mulai dari lingkungan pendidikan, organisasi bahkan sampai ke tempat kerja. Di sekolah dan universitas terutama dalam kegiatan ekstrakurikuler atau organisasi kampus, senioritas kadang di manfaatkan oleh siswa senior untuk mengontrol atau mendominasi junior. Bentuknya juga bisa berupa tindakan perpeloncoan atau pengenalan dengan pendekatan yang keras. Misalnya, dalam kegiatan orientasi siswa atau mahasiswa baru, ada yang menjalani “ritual” senioritas yang berujung pada tekanan fisik maupun mental. Fenomena inilah yang sering di anggap sebagai “tradisi” agar junior lebih menghormati senior namun praktiknya bisa berujung pada kekerasan.

Nah di lingkungan kerja, senioritas juga kerap menjadi masalah, terutama di lembaga yang sangat hierarkis. Dalam beberapa kasus, pekerja baru atau junior merasa kesulitan untuk menyuarakan pendapat atau memberikan ide karena tekanan dari para senior. Kondisi ini tentunya dapat menghambat kreativitas dan inovasi, karena junior cenderung enggan untuk aktif berbicara atau berkontribusi. Mereka selalu merasa harus tunduk pada aturan dan kebiasaan yang di tetapkan oleh senior bahkan jika itu tidak lagi relevan. Jadi akibatnya perusahaan atau organisasi akan mengalami stagnasi karena ide-ide baru sulit berkembang.

Dengan berbagai kasus tersebut membuatnya menjadi perhatian publik di Indonesia karena seringkali membawah berpengaruh pada korban. Baik secara psikologis bahkan hingga pada produktivitas institusi itu sendiri. Jadi untuk mengatasi masalah ini, berbagai kampanye dan regulasi mulai di upayakan agar lingkungan institusi lebih inklusif. Tentunya juga lebih menghargai kontribusi setiap individu terlepas dari status senioritas. Melalui edukasi dan kebijakan anti-perundungan juga di harapkan sikap saling menghargai dapat menggantikan budaya senioritas yang merugikan. Sehingga dampak baiknya akan menciptakan lingkungan yang lebih sehat bagi semua pihak.

Menangani Kultur Senioritas

Terakhir Menangani Kultur Senioritas memang memerlukan pendekatan yang menyeluruh di mulai dengan perubahan sikap dan kebijakan di institusi terkait. Setiap institusi perlu mengedukasi anggota mereka tentang pentingnya saling menghormati tanpa harus bergantung pada hierarki senioritas. Dengan program pelatihan yang fokus pada komunikasi efektif, kolaborasi dan empati dapat membantu membangun pemahaman bahwa pengalaman atau usia bukanlah alasan untuk mendominasi pihak lain. Selain itu aturan yang jelas mengenai perilaku antar-anggota juga menjadi hal yang sangat penting untuk di terapkan dan di tegakkan.

Kemudian menyediakan saluran pelaporan yang aman dan anonim bagi korban atau saksi senioritas yang tidak sehat juga sangat di perlukan. Hal ini akan memungkinkan individu yang merasa di rugikan untuk melapor tanpa takut akan dampak negatif. Institusi juga harus berkomitmen untuk menindaklanjuti setiap laporan dengan langkah-langkah konkret dan tegas serta memberikan sanksi yang sesuai bagi pelanggar. Dengan menciptakan lingkungan yang di mana semua individu merasa di hargai dan di dukung maka kultur senioritas dapat berangsur-angsur berubah. Sehingga hasilnya institusi dapat membangun budaya yang lebih inklusif dan mendukung partisipasi yang sehat. Bahkan hal ini juga akan membuka ruang bagi inovasi tanpa tekanan dari hirarki yang kaku dari Budaya Senioritas.

Share : Facebook Twitter Pinterest LinkedIn Tumblr Telegram Email WhatsApp Print

Artikel Terkait