News

ICJR Desak Presiden Turun Tangan Dalam Kasus Ferry Irwandi
ICJR Desak Presiden Turun Tangan Dalam Kasus Ferry Irwandi

ICJR (Institute For Criminal Justice Reform) Meminta Presiden Prabowo Untuk Tindak Pidana Yang Melibatkan Ferry Irwandi. Menurut ICJR, tindakan yang di lakukan oleh Komandan Satuan Siber TNI, Brigjen TNI Juinta Omboh Sembiring, jelas sudah melampaui kewenangan militer.
ICJR menegaskan bahwa sesuai Pasal 30 Ayat (3) UUD 1945, tugas pokok TNI adalah menjaga pertahanan dan kedaulatan negara, bukan menangani atau menyelidiki tindak pidana sipil. Ranah hukum pidana, sebagaimana diatur dalam KUHAP, merupakan domain Polri sebagai aparat penegak hukum. Dengan demikian, langkah TNI masuk ke ranah hukum sipil dianggap bertentangan dengan aturan yang berlaku.
Lebih jauh, ICJR menilai bahwa tindakan ini dapat menimbulkan preseden buruk dalam sistem demokrasi. Keterlibatan militer dalam penanganan kasus sipil berpotensi membuka ruang kembalinya peran militer di ranah non-pertahanan, sesuatu yang justru telah dihapuskan melalui reformasi pasca 1998. Jika dibiarkan, hal ini bisa mengancam hak asasi manusia dan menggerus prinsip negara hukum.
Oleh karena itu, ICJR mendesak Presiden Prabowo Subianto sebagai panglima tertinggi TNI untuk turun tangan. ICJR menilai perlu ada langkah tegas dari Presiden untuk menghentikan praktik TNI yang masuk ke ranah hukum pidana sipil. Tanpa tindakan cepat, ada risiko bahwa militer akan semakin memperluas kewenangannya di luar fungsi yang telah di atur dalam konstitusi.
Kasus Ferry Irwandi sendiri masih dalam tahap awal penyelidikan. Namun, sorotan publik kini lebih tertuju pada peran TNI dalam menangani perkara tersebut. Banyak pihak menilai bahwa penanganan kasus pidana harus tetap di lakukan sesuai jalur hukum yang benar, yaitu oleh Polri dan aparat penegak hukum sipil.
Kritik ICJR ini menjadi pengingat penting bahwa demokrasi dan supremasi hukum hanya bisa terjaga jika setiap institusi menjalankan tugasnya sesuai kewenangan. Dalam konteks ini, desakan agar Presiden Prabowo segera mengambil langkah tegas menjadi semakin relevan demi menjaga tegaknya prinsip negara hukum di Indonesia.
Publik Ramai Memberikan Komentar, Terutama Setelah Institute For Criminal Justice Reform (ICJR)
Kasus dugaan tindak pidana yang melibatkan CEO Malaka Project, Ferry Irwandi, serta langkah TNI yang ikut berkonsultasi ke Polda Metro Jaya, menjadi sorotan hangat di media sosial. Publik Ramai Memberikan Komentar, Terutama Setelah Institute For Criminal Justice Reform (ICJR) menilai langkah tersebut sebagai tindakan yang melampaui kewenangan militer.
Di platform X (Twitter), banyak warganet mengingatkan soal sejarah kelam keterlibatan militer di ranah sipil. Beberapa pengguna menulis bahwa Indonesia sudah berusaha keras keluar dari bayang-bayang dwifungsi ABRI, sehingga tindakan seperti ini seharusnya tidak terjadi lagi. Tagar seperti #ReformasiDikorupsi dan #TNI sempat ikut meramaikan percakapan daring.
Sementara itu, di Facebook dan Instagram, reaksi publik terbelah. Ada yang mendukung langkah TNI dengan alasan untuk mempercepat penanganan kasus yang di anggap sensitif, namun tak sedikit pula yang mengkritik keras. Netizen yang kritis menegaskan bahwa TNI seharusnya fokus pada pertahanan negara, bukan menangani kasus hukum sipil yang jelas menjadi ranah kepolisian.
Di kalangan masyarakat umum, muncul pula kekhawatiran bahwa kasus ini bisa menjadi preseden berbahaya. “Kalau di biarkan, nanti semua kasus sipil bisa saja di tangani TNI. Ini mundur lagi ke zaman dulu,” tulis salah satu komentar populer di media sosial.
Ada juga sebagian warganet yang menyindir Presiden Prabowo Subianto. Mereka menunggu apakah Presiden akan benar-benar turun tangan seperti desakan ICJR, atau justru membiarkan kasus ini bergulir tanpa koreksi. Sikap Presiden di nilai akan menjadi indikator penting mengenai arah kebijakan sipil-militer di masa pemerintahannya.
Secara keseluruhan, reaksi publik di media sosial menunjukkan adanya kekhawatiran mendalam soal demokrasi dan supremasi hukum di Indonesia. Masyarakat mengingatkan agar institusi negara tetap berjalan sesuai fungsinya, demi menjaga kepercayaan publik terhadap hukum dan pemerintahan.
Kasus Dugaan Tindak Pidana Yang Menyeret Nama Ferry Irwandi
Kasus Dugaan Tindak Pidana Yang Menyeret Nama Ferry Irwandi serta langkah TNI yang ikut berkonsultasi ke Polda Metro Jaya bukan hanya menimbulkan kontroversi hukum, tetapi juga berpotensi memiliki dampak politik bagi pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
Pertama, dari sisi kepercayaan publik, kasus ini bisa mengikis citra Presiden jika tidak di tangani dengan cepat dan tegas. Publik, khususnya kelompok pro-demokrasi, menilai bahwa langkah TNI masuk ke ranah hukum sipil adalah kemunduran dari reformasi yang sudah di perjuangkan sejak 1998. Jika Presiden di anggap membiarkan, ia bisa di cap tidak konsisten dalam menjaga prinsip demokrasi dan supremasi hukum.
Kedua, isu ini juga berpotensi memunculkan gesekan antara masyarakat sipil dan militer. ICJR sudah mengingatkan bahwa tindakan TNI melampaui kewenangan. Jika kritik tersebut di abaikan, kekhawatiran terhadap kembalinya peran militer dalam ranah sipil bisa semakin besar. Hal ini akan menjadi bahan kritik tajam dari oposisi maupun kelompok masyarakat sipil.
Ketiga, dari sisi hubungan internasional, isu demokrasi dan supremasi hukum adalah sorotan penting di mata dunia. Investor asing maupun mitra internasional Indonesia bisa saja menilai kasus ini sebagai indikator kualitas tata kelola pemerintahan. Jika di anggap ada campur tangan militer yang berlebihan dalam urusan sipil, kepercayaan internasional terhadap stabilitas politik Indonesia dapat terganggu.
Namun, di sisi lain, Presiden Prabowo juga memiliki peluang politik jika mampu mengendalikan situasi. Jika ia segera mengambil langkah tegas, misalnya menegaskan kembali bahwa TNI tidak boleh melampaui kewenangan sipil, maka citranya bisa meningkat sebagai pemimpin yang tegas sekaligus berkomitmen menjaga demokrasi. Hal ini bisa memperkuat legitimasi kepemimpinannya di mata publik.
Secara keseluruhan, dampak politik kasus ini akan sangat bergantung pada respon Presiden Prabowo. Jika ia bertindak cepat, isu ini bisa mereda. Tetapi jika di biarkan berlarut, ada risiko bahwa kasus ini akan menjadi polemik berkepanjangan yang merugikan citra pemerintahannya.
Posisi Presiden Prabowo Sebagai Panglima Tertinggi TNI Menempatkannya Dalam Sorotan Publik
Kasus dugaan tindak pidana Ferry Irwandi dan langkah TNI yang berkonsultasi dengan polisi telah memicu polemik. Posisi Presiden Prabowo Sebagai Panglima Tertinggi TNI Menempatkannya Dalam Sorotan Publik. Bagaimana ia merespons kasus ini bisa berdampak signifikan pada citra pemerintahannya.
Skenario Terbaik
Jika Presiden Prabowo segera mengambil langkah tegas dengan menegaskan kembali batas kewenangan TNI, ia akan mendapat apresiasi dari publik maupun komunitas internasional. Misalnya, dengan menyatakan bahwa ranah hukum sipil adalah domain Polri, serta menginstruksikan TNI untuk fokus pada pertahanan negara.
Sikap tegas ini akan memperkuat citranya sebagai pemimpin yang demokratis, taat hukum, dan konsisten menjaga warisan reformasi. Kepercayaan publik dapat meningkat, sementara kritik dari kelompok masyarakat sipil dan oposisi bisa mereda. Selain itu, langkah ini juga bisa menjadi sinyal positif bagi investor asing bahwa Indonesia tetap menjunjung tinggi prinsip negara hukum.
Skenario Terburuk
Sebaliknya, jika Presiden memilih diam atau membiarkan TNI terus masuk ke ranah sipil, dampaknya bisa cukup serius. Publik dapat menilai bahwa ia tidak mampu mengendalikan institusi militer, bahkan di anggap membuka jalan bagi kembalinya praktik dwifungsi ABRI.
Dalam jangka pendek, hal ini bisa memicu gelombang kritik dari aktivis, akademisi, hingga oposisi politik. Dalam jangka panjang, bisa menurunkan kepercayaan internasional terhadap komitmen Indonesia menjaga demokrasi. Lebih jauh lagi, sikap pasif dapat menimbulkan gesekan antara masyarakat sipil dan militer, yang berpotensi menciptakan instabilitas politik.
Arah kasus ini sangat di tentukan oleh respon Presiden. Dengan bertindak tegas, Prabowo bisa memperkuat legitimasi dan meneguhkan dirinya sebagai pemimpin demokratis. Namun, jika membiarkan isu ini berlarut, risiko politik yang di hadapinya akan semakin besar ICJR.